KEDUDUKAN DAN FUNGSI
HADIST
Oleh : YUSRIZAL,dkk
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) AR-RANIRY
BANDA ACEH 2016/2017
A.
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin, memiliki peranan sangat penting dalam membentuk peradaban manusia
yang mulia. Sebagai agama, Islam tidak saja hanya mengatur hubungan manusia dan
Tuhannya, tetapi juga hubungan manusia dan manusia, hubungan manusia dan alam
sekitarnya.
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam adalah
wahyu Allah SWT yang berisikan sejarah, hukum, dan syariat-syariat yang
menuntun dan membimbing umat Islam ke jalan yang benar, yang pada akhirnya akan
memuliakan manusia itu sendiri. Al-Quran juga membenarkan Kitab-Kitab yang
Allah turunkan sebelumnya yaitu Zabur, Taurat dan Injil.
Sebagai kitab suci tentu saja Al-Quran
merupakan sumber hukum utama bagi umat Islam dalam menjalankan
perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan Allah. Untuk menjelaskan
banyak hal yang bersifat umum dalam Al-Quran, maka Hadis memiliki peran penting
dalam menuntun dan dan mengarahkan manusia dalam menjalankan ajaran Al-Quran.
Kata “Hadis” secara bahasa dapat diartikan
“baru” (al-jadid), yang merupakan lawan kata dari al-qadim
(lama/terdahulu). Makna ini dipahami sebagai berita yang disandarkan kepada
Nabi Saw, karena pembaruannya sebagai perimbangan dengan berita yang terkandung
dalam Al-Quran yang sifatnya qadim.[1][1] Dengan
demikian hadis memiliki peran yang sangat penting dan tinggi bagi umat Islam
sebagai sumber hukum atau penjelasan dari sumber hukum yang ada di Al-Quran.
Terkadang, banyak yang memahami agama
setengah-setengah, dengan dalih kembali pada ajaran Islam yang murni, yang
hanya berpegang teguh pada sunnatullah atau Al-Quran saja dan meniadakan peranan
hadis, sehingga banyak yang terjerumus pada jalan yang sesat, mereka tidak
hanya sesat melainkan juga menyesatkan yang lain. Oleh karena itu, peranan
hadis terhadap Al-Quran dalam melahirkan hukum syariat Islam tidak bisa
dikesampingkan lagi, karena tidak mungkin umat Islam memahami ajaran
Islam dengan benar jika hanya merujuk pada Al-Quran saja, melainkan harus
diimbangi dengan hadis.
Di sisi lain Imam Syafi’i telah menanamkan
fondasi epistemologis yang sangat kokoh ketika mengeluarkan kaidah fiqhiyah
yang berbunyi: iza asaha al-hadits fahuwa mazhabi, bahwa ketika “jika
sebuah hadis telah teruji kesahihannya, itulah mazhabku”. Berawal dari konteks
ini ternyata perkembangan agama (hukum) Islam tidak terlepas dari kontek kajian
hadis.[2][2]
B.
KEDUDUKAN HADIS DALAM ISLAM
Kedudukan hadits atau sunnah
mendekati Al-Quran. Hadis adalah berfungsi menafsirkan nashnya, menjelaskan
pengertiannya, men-takhsish yang ‘amm, men-taqyid yang muthlaq,
menjelaskan yang musykil, menjelaskan yang mubham, dan menjelaskan
hukum-hukumnya. Oleh karena itu wajib mengikutinya sebagaimana mengikuti
Al-Quran.[3][3] Dengan demikian sangat jelaslah kedudukan
hadis di dalam Islam sangat tinggi dan penting, terlebih lagi dalam pengambilan
hukum yang tepat yang dapat diterapkan dalam kehidupan umat Islam.
Imam Ahmad berkata, “mencari hukum dalam
Al-Quran haruslah melalui hadis, demikian pula halnya dengan mencari agama.
Jalan yang dibentang untuk mempelajari fiqh Islam sesuai syariat ialah melalui hadits
atau sunnah.”[4][4] Sebagaimana telah dikemukan bahwa para ulama
sepakat dalam menetapkan bahwa hadis berkedudukan sebagai pensyarah dan
penjelas bagi Al-Quran. Dalam hal ini Al-Quran kerap kali membawa
keterangan-keterangan yang bersifat tidak terinci dan ada juga yang bersifat
umum atau tidak dibatasi.
1.
Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan sunnah (hadis) dalam Islam sebagai
sumber hukum. Para ulama juga telah berkonsensus bahwa dasar hukum Islam adalah
Al-Quran dan sunnah (hadis). Dari segi urutan tingkatan dasar Islam ini, sunnah
(hadis) menjadi dasar hukum Islam (tasyri’iyyah) kedua setelah Al-Quran.
Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa alasan sebagai berikut:[5][5]
a.
Fungsi sunnah (hadis) sebagai penjelas terhadap
Al-Quran
Sunnah
berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap Al-Quran. Tentunya pihak
penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks Al-Quran
sebagai pokok asal, sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang
dibangun karenanya. Dengan demikian segala uraian dalam sunnah berasal dari
Al-Quran.
b.
Mayoritas sunnah relatif kebenarannya.
Seluruh umat
Islam juga telah berkonsensus bahwa Al-Quran seluruhnya diriwiyatakan secara mutawatir
(para periwayat secara kolektif dalam segala tingkatan). Maka ia memberi faedah
absolut kebenarannya dari Nabi, kemudian di antaranya ada yang memberi petunjuk
makna secara tegas dan pasti dan secara relatif petunjuknya. Sedangkan sunnah
(hadis), diantaranya ada yang muatawatir yang memberikan faedah absolut
kebenarannya, dan di antaranya bahkan yang mayoritas ahad (periwayatnya
secara individual) memberikan faedah relatif kebenarannya bahwa ia dari Nabi
meskipun secara umum dapat dikatakan absolut kebenarannya.
2.
Dalil-Dalil Kehujahan Hadis
Ada beberapa
dalil yang menunjukkan atas kehujahan hadis dijadikan sebagai sumber hukum
Islam, yaitu sebagai berikut:
a. Dalil Al-Quran
Dalam Al-Quran
banyak terdapat ayat yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti Allah yang
digandengkan dengan ketaatan mengikuti rasul-Nya, seperti firman Allah berikut
ini:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ ۖفَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِر
ذَٰلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah
dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nisa: 59)
Selain itu banyak dalil Al-Quran yang
memerintahkan ketaatan kepada rasul dan mengikuti sunnahnya. Perintah patuh
kepada rasul berarti perintah mengikuti sunah sebagai hujah. Antara lain[6][6]:
1) Konsekuensi iman kepada Allah adalah taat
kepada-Nya. Sebagaimana perintah Allah dalam surat Ali Imran: 179
فَآمِنُوا
بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۚوَإِنْتُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيم
“Karena itu berimanlah kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang
besar”
2) Perintah iman kepada rasul beserta iman kepada
Allah. Sebagaimana perintah Allah dalam surat An-Nisa: 136
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ
وَالْكِتَابِ
الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
“Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan
kepada kitab yang Alllah turunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya.”
3 ) Kewajiban taat pada rasul karena menyambut
perintah Allah. Sebagaimana perintah Allah dalam surat An-Nisa: 64
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ
بِإِذْنِ اللَّهِ
“Dan
Kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati seizin Allah.”
4) Perintah taat kepada rasul bersama perintah
taat kepada Allah. Sebagaimana perintah allah dalam surat Ali Imran: 32
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ
ۖفَإِنْتَوَلَّوْا فَإِنَّاللَّهَ لَايُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah:
Taatilah Allah dan rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir.”
5) Perintah taat kepada rasul secara khusus.
Sebagaimana perintah Allah dalam surat Al-Hasyr: 7
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa
yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah.”
Disamping itu,
banyak juga ayat yang mewajibkan ketaatan kepada rasul secara khusus dan
terpisah karena pada dasarnya ketaatan kepada rasul berarti ketaatan kepada
Allah SWT, yaitu[7][7]:
1) Q.S An-Nisa (4)
ayat 65 dan 80
2) Q.S Ali Imran
(3) ayat 31
3) Q.S AN-Nur (24)
ayat 56, 62 dan 63
4) Q.S Al-A’raf
(7) ayat 158.
Selain Allah memerintahkan agar umat Islam agar
percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar menaati segala bentuk
perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun
larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul SAW ini sama halnya dengan
tuntutan taat kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-Quran yang berkenaan dengan
masalah itu.[8][8]
b .
Dalil Hadis
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan
dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, di samping Al-Quran
sebagai pedoman utamanya. Beliau bersabda:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ
فِيكُمْ
أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ
نَبِيِّهِ.
(الإمام مالك)
(الإمام مالك)
“Dari
Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW, bahwa Rasulullah bersabda: "Telah
Aku tinggalkan pada diri kamu sekalian dua perkara sehingga kamu tidak akan
sesat selama kamu berpegang teguh kepadanya. Yaitu Kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya" (H.R. Malik)
Hadis tersebut
menunjukkan bahwa Nabi SAW diberi Al-Kitab dan Sunnah, dan mewajibkan kita
berpegang teguh pada keduanya, serta mengambil apa yang ada pada sunnah seperti
mengambil pada Al-Kitab. Masih banyak hadis-hadis lainnya yang menegaskan
tentang kewajiban mengiktu perintah dan tuntunan Nabi SAW.[9][9]
. c . Dalil Ijma Ulama
Setelah
Rasulullah wafat, para sahabat sepakat bahwa apa-apa yang berasal dari
Rasulullah, baik perbuatan, perkataan dan takrirnya dijadikan sebagai
landasan untuk menjalankan agama. Tidak seorangpun diantara mereka
menolak tentang kewajiban untuk menaati apa-apa yang datang dari Rasulullah.
Kewajiban untuk menaati sunnah rasul dikuatkan oleh dalil-dalil yang bersumber
dari Al-Quran dan Hadis. Kesepakatan para sahabat selanjutnya diikuti oleh para
tabi’in, tabi’ tabi’in dan generasi berikutnya hingga sampai saat ini.[10][10]
Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan
menggunakan hadis sebagai sumber hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan
peristiwa di bawah ini[11][11]:
1)
Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah, ia
pernah berkata “Saya tidak meninggalkan sedikit pun sesuatu yang
diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila
meninggalkan perintahnya”.
2)
Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia
berkata “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat
Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”.
Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar
tentang ketentuan shalat safar dalam Al-Quran. Ibnu Umar menjawab: “Allah SWT
telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu.
Sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan
sebagaimana makannya Rasulullah dan saya sahalat sebagaimana shalatnya Rasul”.
4)
Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Usman
bin ‘Affan berkata: “Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan
sebagaimana makannya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.
d. Dalil Akal (Rasio)
Maksud dari
dalil ini adalah argumen yang disusun berdasarkan pendekatan akal untuk
menjelaskan kedudukan hadis. Hampir tidak dapat dibayangkan betapa seorang
manusia tidak akan bisa menjalankan praktik Ubudiyah maupun praktik Mu’amalah
dengan benar bila mengambil pijakan langsung dari Al-Quran tanpa
mengetahui keterangan dan penjabaran dari hadis terhadap ayat-ayat
mengenai hal-hal tersebut.[12][12]
Kerasulan Nabi Muhammad SAW teah diakui dan
dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang
beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik isi
maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan
ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad
semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan
juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai
ada nas yang menasakhnya.
C.
FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QURAN
Secara global, sunnah sejalan dengan Al-Quran,
menjelaskan yang mubham (yang tidak jelas), merinci yang mujmal
(yang umum), membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum dan menguraikan
hukum-hukum dan tujuan-tujuannya, disamping membawa hukum-hukum yang belum
dijelaskan secara eksplisit oleh Al-Quran yang isinya sejalan dengan
kaidah-kaidahnya dan merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya.[13][13]
Imam Asy-Syatibi menjelaskan beberapa fungsi
hadis terhadap Al-Quran adalah 1) memberikan tafshil, perincian, dan
penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mujmal; 2) memberikan taqyid
(persyaratan) terhadap ayat-ayat yang masih bersifat mutlaq; 3) memberikan
takhshish (penetuan khusus) terhdap ayat-ayat yang masih bersifat
umum; 4) memperkuat hukum-hukum yang telah diterapkan Al-Quran; dan 5)
menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Quran.[14][14]
1.
Menurut ulama ahl al-ra’y penjelasan hadis
terhadap Al-Quran adalah sebagai berikut:
a. Bayan
Taqrir
b. Bayan
Tafsir
c. Bayan
Tabdil
2.
Menurut Imam Malik bayan hadits itu
terbagi menjadi lima, yaitu:
a.
Bayan
Taqrir
b.
Bayan
Tawdhih (Bayan Tafsir)
c.
Bayan
Tafshil
d.
Bayan
Tabshith
e.
Bayan
Tasyri’
3.
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i menetapkan bahwa
penjelasan hadis terhadap Al-Quran menjadi lima, yaitu:
a. Bayan
Tafshil
b. Bayan
Takhshish
c. Bayan
Ta’yin
d. Bayan
Tasyri’
e. Bayan
Nashk
4.
Ahmad Ibnu Hambal sependapat dengan gurunya
Imam Asy-Syafi’i, bahkan lebih keras lagi pendiriannya. Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah menjelaskan pendapat Ahmad ibnu Hambal bahwa penjelasan Sunnah
terhadap Al-Quran terbagi empat:
a.
Bayan Ta’kid (Bayan Taqrir)
b.
Bayan Tafsir
c.
Bayan Tasyri’
d.
Bayan Takhshish dan Taqyid.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
sunnah, menurut pendapat Ahmad, dapat men-takhshish Al-Quran, men-taqyid
atau menafsirkannya. Ia juga berpendapat bahwa sunnah dapat menafsirkan zhahir
Al-Quran, dan hadits ahad dapat men-takhshishAl-Quran.
Dalam kitab Ushul al-Hadits dikatakan bahwa ada tiga fungsi sunnah
terhadap Al-Quran[16][16]:
1. Kalau ada persesuaian hadis dengan Al-Quran,
maka hadis berfungsi sebagai penguat apa yang ada di dalam Al-Quran, seperti
hadis tentang perintah shalat, zakat, keharaman riba dan sebagainya.
2. Kalau ia berfungsi menjelaskan dan menafsirkan
yang mujmal di dalam Al-Quran, maka hadis menjelaskan maksudnya, seperti
penjelasan tata cara shalat, jumlah rakaatnya dan waktu pelaksanaanya. Al-Quran
hanya menyebutkan waktu-waktunya secara umum, dan hadislah yang menjelaskan
tatacara pelaksanaanya.
3. Rasulullah menetapkan suatu hukum yang belum
ada ketentuan nash-nya di dalam Al-Quran, seperti keharaman memakan
keledai kampung.
Dari banyak
perbedaan pendapat para ulama terpercaya tentang penjelasan hadis terhadap
Al-Quran, berikut diambil dan dijelaskan secara singkat beberapa diantaranya:
1. Hadis sebagai Bayan
Tafshil
Yang di maksud dengan bayan tasfsil di sini
adalah bahwa hadits itu menjelaskan atau memperinci kemujmalan Al-Quran. Karena
Al-Quran bersifat mujmal (global), maka agar ia dapat berlaku sepanjang masa
dan dalam keadaan bagaimanapun diperlakukan perincian. Maka dari itu diperlukan
adanya hadis atau sunnah.[17][17]
Dalam
kedudukannya sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, hadis berfungsi sebagai
pemerinci atau penafsir hal-hal yang masih disebutkan secara mujmal oleh
Al-Quran. Mujmal dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang belum jelas
dilalahnya atau masih bersifat umum dalam penunjukannya. Dengan hadis
diharapkan dapat diketahui dengan jelas maksud dan penunjukannya.
Dalam
Al-Quran ada perintah melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan ibadah
haji. Namun teknik operasional tidak dijumpai didalam Al-Quran, teknik
pelaksanaan tersebut dijelaskan di dalam hadis.
2.
Hadis sebagai Bayan Takhshish
Dalam hal ini
hadis bertindak sebagai penjelas tentang kekhususan ayat-ayat yang masih
bersifat umum. ‘Amm dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang
menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan makna yang tidak terbatas
dalam satuan tertentu. Dengan kata lain, semua lafaz yang mencakup semua makna
yang pantasdengan suatu ucapan saja. Misalnya lafaz al-Muslimun
(orang-orang Islam), al-rijal (anak-anak laki-lakimu), dan lain-lain.[18][18]
Misalnya, terkait informasi Al-Quran tentang
ketentuan anak laki-laki yang dapat mewarisi orang tua dari keluarganya, di
dalam Al-Quran dijelaskan sebagai berikut: “Allah telah mewasiatkan kepadamu
tentang bagian anak-anakmu, yakni untuk laki-laki sama dengan dua bagian untuk
anak perempuan”. (Q.S. An-Nisa: 11). Ayat ini tidak menjelaskan
syarat-syarat untuk dapat saling mewarisi antara keluarga. Selanjutnya hal itu
dijelaskan oleh hadis yang menerangkan tentang persyaratan khusus tentang
kebisaan saling mewarisi tersebut, antara lain tidak berlainan agama dan tidak
ada tindakan pembunuhan di antara mereka.
3. Hadis Sebagai Bayan
Taqyid
Bayan taqyid adalah penjelasan terhadap
Al-Qur’an dengan cara membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan keadaan,
sifat dan syarat tertentu. Istilah mutlak maksudnya adalah hakikat dari suatu
ayat yang hanya berorientasi pada dhohirnya tanpa memiliki limitasi yang dapat
membuat pagar hukum yang sistematis.[19][19] Adapun contoh hadits
yang memiliki pembatasan hukum adalah:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : ( لَا تُقْطَعُ يَدُ سَارِقٍ إِلَّا
فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَاللَّفْظُ
لِمُسْلِم ٍ.
وَلَفْظُ
اَلْبُخَارِيِّ: تُقْطَعُ اَلْيَدُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا وَفِي
رِوَايَةٍ لِأَحْمَدَ اِقْطَعُوا فِي رُبُعِ دِينَارٍ, وَلَا تَقْطَعُوا فِيمَا
هُوَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ
“Dari 'Aisyah bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak boleh dipotong tangan seorang pencuri,
kecuali sebesar seperempat dinar atau lebih." Muttafaq Alaihi dan
lafadznya menurut riwayat Muslim. Menurut Lafadz Bukhari: "Tangan seorang
pencuri dipotong (jika mengambil sebesar seperempat dinar atau lebih." Menurut
riwayat Ahmad: "Potonglah jika mengambil seperempat dinar dan jangan
memotong jika mengambil lebih kurang daripada itu”.[20][20]
Hadits di atas
dalam prakteknya yaitu membatasi hukuman pencuri yang secara hukum tetap ia
dipotong tangannya sebagaimana dijelaskan secara mutlak dalam ayat:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ
وَاللَّهُعَزِيزٌحَكِيمٌ
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. Al-Maidah (5) ayat 38).
Ayat ini
menjelaskan tentang hukum mutlak potong tangan bagi pencuri laki-laki dan
perempuan tanpa ada suatu pembatas takaran curiannya. Ayat ini mengobligasikan
potong tangan secara mutlak. Maka, kemudian hadis datang untuk membatasi hukum
bahwa yang dikenakan potongan tangan adalah bagi mereka yang mencuri seperempat
dinar atau lebih.
4. Hadis sebagai Bayan
Ta’kid
Hadis berfungsi juga sebagai penguat
hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran. Suatu ketetapan hukum tentang suatu
masalah memiliki dua sumber atau argumentasi, yakni Al-Quran dan Sunnah. Selain
itu sunnah dalam konteks ini melengkapi sebagian cabang-cabang hukum yang
berasal dari Al-Quran.[21][21]
Dalam Al-Quran
banyak ayat yang saling menguatkan dengan sunnah. Misalnya ayat Al-Quran
tentang puasa Ramadhan, Allah berfirman:
“Bulan
Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan AL-Quran sebagi petunjuk bagi
manusia dan sebagai penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang
hak dan batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu melihat bulan, maka
hendaklah dia berpuasa pada bulan itu”. (Q.S. Al-Baqarah: 15).
Ayat ini
dikuatkan oleh hadis Nabi yang berbunyi: “Berpuasalah kamu setelah melihat
bulan itu dan berbukalah setelah melihat bulan juga” (H.R. Bukhari-Muslim)
5.
Hadis sebagai Bayan Tasyri’
Bayan
tasyri’ adalah penjelasan hadis Nabi yang
mendefenisikan suatu ketetapan hukum secara independen yang tidak didapati
dalam nash-nash Al-Quran secara tekstual. Penjelasan itu muncul dengan
sebab adanya permasalahan-permasalahan yang timbul di antara masyarakat. Di
sinilah hadis Nabi mengeluarkan penjelasan dan sekaligus keputusan dengan tidak
berorientsi terhadap Al-Quran namun tetap ada bimbingan langsung dari sang
pemilik semesta, Allah SWT[22][22]. Misalnya hadits Nabi:
و حَدَّثَنِي
يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنرَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ
الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Tidak boleh menikahi seorang perempuan
bersamaan dengan bibinya dari pihak bapak & tak boleh menikahi perempuan
bersamaan dengan bibinya dari pihak ibunya”. (HR. Malik No.977)[23][23]
Hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang
dilarang mempoligami perempuan bersamaan dengan bibinya. Disini Nabi memutuskan
suatu hukum akan larangan itu. Dalam Al-Quran tidak ada sebuah ayat tersurat
tentang larangan mengawini perempuan bersamaan dengan bibinya baik dari arah
ayah maupun ibu. Hanya ada dalam Al-Quran keterangan-keterangan tentang
dilarangnya menikahi perempuan beserta kelurganya, seperti ibu, saudara, anak
dan sebagainya. Disinilah hadis mejelaskan haramnya menikahi bibi perempuan
yang dinikahi tanpa berorientasi terhadap Al-Quran dalam membuat
keputusan itu.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa apa yang telah
disunnahkan oleh Rasulullah SAW tidak terdapat dalam kitabullah, maka hal itu
merupakan hukum Allah juga, sebagaimana Allah berfirman:
“Sesungguhnya kamu benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus, yaitu jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala
apa yang ada di langit dan di bumi”. (Q.S. Al-Syura: 52)[24][24]
DAFTAR PUSTAKA
Agus Solehudin,
M dan Suyadi, Agus. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Khon, Abdul
Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Bumi Aksara
Noer Sulaiman,
M. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press
Suparta,
Munzier. 2008. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Supian, Aan.
2014. Ulumul Hadis. Bogor: IPB Press
Sumber
Internet:
Ahmad Agus
Tijani. http://tijaniagus.blogspot.com/2012/11/fungsi-hadits-terhadap-al-quran-di.html/ . Diakses tanggal 15 Oktober 2016 jam 15.33
WIB.
Akhmad Suseta, http://akhmadsuseta.blogspot.com/2012/05/fungsi-hadits-terhadap-alquran.html. Diakses tanggal 15 Oktober 2016 jam 16.32
WIB.
Awan Al-Faiz, http://awanaalfaizy.blogspot.com/2012/11/kedudukan-dan-fungsi-hadits-dalam-agama_2.html,. Diakses tanggal 15 Oktober 2016 jam 10.28
Bulughul Maram
versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah, Hadis No. 1255. http://alquran-sunnah.com/kitab/bulughul-maram/source/10.%20Kitab%20Hukuman/3.%20Bab%20Hukum%20Pencurian.htmDiakses tanggal 15 Oktober 2016 jam 16.32 WIB
http://pipa-biru.blogspot.com/2014/01/kedudukan-hadist-sebagai-sumber-hukum.html. Diakses tanggal 15 Oktober 2016 jam 13.44
Mutiara Hadis. http://www.mutiarahadits.com/25/51/76/wanita-yang-tak-boleh-dipoligami-bersama.htm.. Diak
[1]
[1]Aan Supian. Ulumul Hadits. (Bogor: IPB Press 2014). h. 1
[2]
[2]Awan Al-Faiz, http://awanaalfaizy.blogspot.com/2012/11/kedudukan-dan-fungsi-hadits-dalam-agama_2.html,.
Diakses tanggal 15 Oktober 2016 jam 10.28 WIB
[3]
[3]M. Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits. (Jakarta: Gaung Persada Press 2008).
h. 37
[4]
[4]M. Noor Sulaiman. Antologi ...h. 37
[5]
[5]Abdul Majid Khon. Ulumul Hadis. Cetakan Ke-3 (Jakarta: Bumi Aksara 2009). h.
22
[6]
[6]http://pipa-biru.blogspot.com/2014/01/kedudukan-hadist-sebagai-sumber-hukum.html.
Diakses tanggal 15 Oktober 2016 jam 13.44
[7]
[7]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Haidis. (Bandung: Pustakan Setia
2008). h. 75
[8]
[8]Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta: PT Raja Gradindo Persada 2008). h. 51
[9]
[9]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul ... h. 77
[10]
[10]Aan Supian. Ulumul ... h. 29
[11]
[11]Munzier Suparta. Ilmu ... h. 57
[12]
[12]Aan Supian. Ulumul ... h. 30
[13]
[13]M. Noor Sulaiman. Antologi ...h. 36
[14]
[14]Aan Supian. Ulumul ... h. 30
[15]
[15]M. Noor Sulaiman. Antologi ...h. 38
[16]
[16]M. Noor Sulaiman. Antologi ...h. 41
[17]
[17]Ahmad Agus Tijani.
http://tijaniagus.blogspot.com/2012/11/fungsi-hadits-terhadap-al-quran-di.html/
. Diakses tanggal 15 Oktober 2016 jam 15.33 WIB.
[18]
[18]Aan Supian. Ulumul ... h. 31
[19]
[19]Akhmad Suseta, http://akhmadsuseta.blogspot.com/2012/05/fungsi-hadits-terhadap-alquran.html.
Diakses tanggal 15 Oktober 2016 jam 16.32 WIB.
[20]
[20]Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah, Hadis
No. 1255. http://alquran-sunnah.com/kitab/bulughul-maram/source/10.%20Kitab%20Hukuman/3.%20Bab%20Hukum%20Pencurian.htmDiakses
tanggal 15 Oktober 2016 jam 16.32 WIB.
[21]
[21]Aan Supian. Ulumul ... h. 32
[22]
[22]Akhmad Suseta,
http://akhmadsuseta.blogspot.com/2012/05/fungsi-hadits-terhadap-alquran.html.
Diakses tanggal 15 Oktober 2016 jam 16.32 WIB..
[23]
[23]Mutiara Hadis.
http://www.mutiarahadits.com/25/51/76/wanita-yang-tak-boleh-dipoligami-bersama.htm..
Diakses tanggal 15 Oktober 2016 jam 16.32 WIB..