Filsafat Islam dan Objek Filsafat



FILSAFAT ISLAM DAN OBJEK FILSAFAT
Oleh : YUSRIZAL,dkk

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) AR-RANIRY
BANDA ACEH 2016/2017


      A.   LATAR BELAKANG MASALAH

     Filsafat dan agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia dan dunianya. Apabila yang satu membawa kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta manusia dan dunianya itu, dan yang lainnya dari akal manusia yang selalu diliput kekurang-jelasan dan ketidakpastian, mengapa lalu orang masih sibuk dengan agama? Itulah pertanyaan yang tidak jarang dikemukakan oleh orang bertakwa terhadap usaha para filosof. Itu memang ada benarnya.

    Pengetahuan mudah membuat orang menjadi sombong. Filsafat juga dapat membuat orang menjadi sombong, seakan-akan si filosof mengetahui segala-galanya, seakanakania pasti lebih maju daripada orang yang saleh.

     Akan tetapi, di lain fihak, orang yang bicara atas nama agama juga dapat berdosa karena sombong. Meskipun yang mau dibicarakan adalah wahyu Allah, namun ia dapat lupa bahwa ia sendiri tetap manusia, tetap terbatas dan tidak pasti dalam pengertiannya, juga dalam pengertiannya terhdap wahyu itu.

     Jadi, dengan cara mengadakan "perhitungan", kita tidak akan maju jauh. Akan tetapi,pertanyaan di atas tetap perlu kita jawab. Apakah fungsi filsafat dalam berhadapan dengan agama yang menimba pengertiannya dari wahyu Allah ?

FILSAFAT ISLAM DAN OBJEK FILSAFAT

     A.   Definisi Filsafat Islam dan Objek Filsafat
1.      Definisi Filsafat Islam

   Pembahasan mengenai hal tersebut ada masalah yang dihadapi yaitu apakah filsafat itu bercorak Islam atau bercorak Arab.
   Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “kaum filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam” (Falasifatul-Islam, atau Al-falasifatul Islamiyyinatau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.[1]

   Demikian juga pendapat Dr. Ibrahim Madzakur dengan pernyataan bahwa penamaan filsafat Arab tidak berarti pemikiran filsafat itu hasil karya suatu ras atau suatu bangsa. Saya lebih suka menyebut Filsafat Islam, karena Islam bukan hanya aqidah atau keyakinan semata-mata melainkan juga peradaban dan sikap peradaban mencakup segi-segi kehidupan moral, material, pemikiran dan perasaan. Jadi Filsafat Islam ialah segala studi filsafat yang dilukis di dalam dunia Islam, baik penulisnya orang Muslim, Nasrani ataupun Yahudi.[2]
   Hakekat Filsafat Islam ialah aqal dan al-Quran. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa aqal dan al-Quran. Aqal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan al-Quran juga menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga al-Quran tidak membatasi aqal bekerja, aqal tetap bekerja dengan otonomi penuh.[3]

   Jadi jelaslah apa yang dikatakan al-Akhwani dalam bukunyaFilsafat Islam bahwa Filsafat Islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.[4]

2.      Objek Filsafat

   Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan, objek yang dipikirkan oleh filsafat ialah segala yang ada dan yang mungkin ada. Jadi luas sekali. “Objek filsafat itu bukan main luasnya”, tulis Louis Katt Soff, yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia.[5]

   Oleh karena itu manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya, cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada menurut akal pikirannya. Jadi objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya.

kiban ? na mangat jak kuliah ?

   Objek filsafat ada dua yaitu Objek Material dan Objek Formal,tentang objek materia ini banyak yang sama dengan objek materia sains. Sains memiliki objek materia yang empiris; filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian yang abstrak.[6] Sedang objek forma filsafat tiada lain ialah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya tentang objek materi filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada).[7]

    Dari uraian tertera di atas jelaslah, bahwa:
1.  Objek material filsafat ialah Semua-yang-ada, yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok:
a. Hakekat Tuhan;
b. Hakekat Alam dan
c. Hakekat Manusia.
2. Objek formal filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai ke akarnya) tentang objek materi filsafat (semua-yang-ada).[8]

    Adapun objek Filsafat Islam ialah objek kajian filsafat pada umumnya yaitu realitas, baik yang material maupun yang ghaib. Perbedaannya terletak pada subjek yang mempunyai komitmen Qur’anik.[9]

   Dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa objek filsafat itu sama dengan objek ilmu pengetahuan bila ditinjau secara materia dan berbeda bila secara forma. Sedangkan objek kajian Filsafat Islam itu sendiri mencakup Tuhan, alam, manusia dan kebudayaan.  

     B.     Tokoh filsafat islam 

1.      Ibnu Rusyd
      a.       Sejarah Singkat

   Abu Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Salah satu keistemawaan Cordoba adalah perhatian yang cukup besar terhadap kebudayan dan ilmu pengetahuan. Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja. [10]

   Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang mempengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.

.            b.    Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd

    Seorang muslim yang baik adalah yang bias merepresentasikan zaman, di saat dan dimana ia hidup. Seorang muslim harus menggunakan akalnya agar tidak terbelakang. Karena itu tak heran jika pandangan-pandangan Ibnu Rusyd senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan kita, sebagaimana tercermin dalam beberapa hal berikut:

1.    Pluralisme dalam ijtihad.
Ibnu Rusyd tidak serta merta menggunakan otoritas tersebut sebagai tangan besi untuk menyimpulkan sebuah hokum secara hitam-putih.
2.    Kebebasan dan tradisi kritik.
Ibnu Rusyd menolak pengkafiran terhadap kaum filsuf, karen filsafat dan pikir merupakan ajaran Islam yang otentik.
3.    Dialog Antaragama.
Ibnu Rusyd memandang bahwa perbedaan agama tidaklah menjadi penghalang untuk membangun jembatan dialog. Kunci dari keterbukaan Ibnu Rusyd untuk melakukan dialog dengan umat-umat lain adalah kecenderungannya pada filsafat. Karena filsafat baginya merupakan salah satu pintu menuju kearifan dan kemuliaan hidup.[11]
4.    Kontrol atas kebijakan politik.
Hal penting yang mendarah daging dalam karakter Ibnu Rusyd adalah control terhadap kebijakan peguasa. Menurutnya, otoritarianisme berpotensi membunuh kepentingan kolektif. Ketika para ulama terseret untuk hanya focus belajar ilmu-ilmu agama, maka ilmu-ilmu social yang berkaitan dengan ilmu tata masyarakat cenderung diabaikan.
  
         c.       Kitab Filsafat Karangan Ibnu Rusyd

Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (filsafat dalam Islam dan menolak segala paham yang bertentangan dengan filsafat).[12]

2.      Ibnu Sina
         a.      Sejarah Singkat

    Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.[13] Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya.[14]

    Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak  pernah dikecewakan. Sering - sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya.[15]
Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya.  

        b.      Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
1.    Filsafat Jiwa.

    Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.[16]

   Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.[17]

2.    Filsafat Wujud.

    Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.

3.    Falsafat Wahyu dan Nabi.
     
     Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.

       c.       Kitab Filsafat Karangan Ibnu Sina
~     Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.
~     Danesh Nameh. Buku filsafat.
~     Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
~     Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan          kemungkinan besar buku ini telah hilang).
~     Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.
~     Al-Hudud. Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam ilmu                  filsafat.
~     Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan -                peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.[18]


BAB III
       A.   KESIMPULAN

~   Dalam hal pemikiran teologi, perbedaan pendapat adalah juga tidak bisa dihindari. Terkadang perbedaan pendapat dalam masalah teologi ini bisa membingungkan kita, sehingga kita ragu untuk meyakini mana yang benar. Untuk ini kita harus kembali kepada sumber utama ajaran teologi Islam yaitu al-Qur'an. Pendapat yang sejalan atau tidak berlawanan dengan al-Qur'an itulah yang bisa kita yakini kebenarannya. Sedang pendapat yang lain terutama yang tidak sejalan atau berlawanan dengan al-Qur'an boleh saja kita abaikan.

~    Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran evolusi atau pada feminisme.

      B.   SARAN

    Dengan mempelajari filsafat islam,diharapkan kita mampu memahami dan membedakan filsafat islam islam dan filsafat-filsafat lainnya, yang bertolak belakang dengan filsafat islam di berbagai macam sudut pandang.

    Karena syarat untuk hidup filsafat dalam Islam itu, maka para filsuf harus merebut kedudukannya oleh membenarkan diri sebagai pendukung, pembela dan juru penerangan agama. Berkali-kali mereka mencoba hal itu, tetapi harapan tidak dipenuhi dan hasil pikiran mereka ditampik sebagai tidak memenuhi syarat.





DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1988.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai James, Bandung:  PT. Remaja Rosda Jarya, 1990.
Al-Ahwâni, Ahmad Fu'âd, (1962 M.) Al-Falsafah al-Islâmiyah, Mesir: Wizârât al-Tsaqâfah.
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1991.
Hanafi, Ahmad. 1986. Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang, cet. ke-6.
Harun Nasution. 1992. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Musa Asy-Arie, et. Al., Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis, Perspektif, Yogyakarta: Lembaga studi Filsafat Islam, 1992.
Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang : Dina Utama Semarang, 1993.
Zuhairi Misrawi, Ibnu Rusyd “Gerbang Pencerahan Timur dan Barat”, PPPM : Jakarta, 2007.



 Endnote :

[1]  Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988), cet. ke-2, h. 6
[2]  Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam...., h. 11
[3] Dr. H. Musa Asy-Arie, et. Al., Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis   Historis, Perspektif, (Yogyakarta, Lembaga studi Filsafat Islam, 1992), cet. ke-1, h. 15
[4]  Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam...., h. 5
[5]  H. Endang Saifuddin Anshari, MA., Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya, Bina Ilmu, 1991), cet. Ke-9., h. 84
[6]  Dr. Ahmad Tafsir. Filsafat Umum; Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai James, (Bandung, PT. Remaja Rosda Jarya, 1990) h. 18-19
[7]  H. Endang Saifuddin Anshari, MA., Ilmu, Filsafat...., h. 87
[8]  H. Endang Saefuddin Anshari, MA, Ilmu, Filsafat...., h. 87-88
[9]  Dr. H. Musa Asy-Arie, et. Al.,  Filsafat Islam., h.17
[10]  Zuhairi Misrawi, Ibnu Rusyd “Gerbang Pencerahan Timur dan Barat”.
[11]  Zuhairi Misrawi, Ibnu Rusyd “Gerbang Pencerahan Timur dan Barat”.
[12]  Zuhairi Misrawi, Ibnu Rusyd “Gerbang Pencerahan Timur dan Barat”, PPPM : Jakarta, 2007
[13] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia), 1996, hal. 50
[14]  Dr. Ahmad Daudy, MA, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1986, hal. 60
[15]  Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1996, hal. 115, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, hal. 65
[16]  Ahmad Hanafi, Pengantar …, hal. 125 - 126
[17]  Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1992, hal 34-35

[18]  Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang : Dina Utama Semarang), 1993, hal. 37 - 39

lihat ini juga ya !!!

Cari Berita Lainnnya

Yusrizal Bungie. Diberdayakan oleh Blogger.

Entry Populer

Upload Terbaru

5 Hal Yang Harus Kamu lakukan Agar Betah Di Pesantren